Rabu, 17 Februari 2016

Bada Subuh santri sudah sedang bersama Al-Qur'an
PEKALONGAN - Kondisi zaman yang semakin modern sangat mengganggu sendi-sendi budaya dan karakter generasi muda. Tayangan televisi all channel, smartphone yang bisa melihat youtube menciptakan budaya bebas dan remaja meniru tontonan-tontonan tersebut. Bagaimana menangkal budaya yang semakin memprihatinkan tersebut?. A. ASEP SYARIFUDDIN, SOKOREJO.
Tepat pukul 03.00 weker dari jam para santri dan siswa Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Assalam Boarding School serentak berbunyi. Tidak hanya satu, nyaris seluruh asrama putra maupun putri disetting jam tersebut. Tidak ada alasan mereka untuk bangun kesiangan. Resikonya terlalu berat kalau harus terlambat. Ada konsekuensi yang harus ditanggung ketika jumlah pelanggaran mencapai batas toleransi.
Mereka langsung antre mandi dilanjutkan shalat tahajud berjamaah dan murojaah sekaligus menghafal ayat-ayat Al Quran. Bakda shalat shubuh ayat yang tadi dihafal harus disetor di depan ustadz dan ustadzah. Target awal selama 3 tahun bisa menghafal 6-15 juz. Bahkan ke depan ada keinginan untuk mentargetkan hafal hingga 30 juz.
Siang harinya sekolah seperti pada umumnya siswa SMP sampai pukul 14.00. Sore hari bakda Ashar dilanjut dengan hafalan Al Quran untuk mempersiapkan esok hari. Malam hari usai shalat Magrib dan Isya belajar bersama sampai pukul 22.00. Kegiatan lain harus dilakukan sendiri, apakah mencuci baju, menyetrika. Ada laundry, tapi diharapkan semakin naik kelas, tidak lagi mengandalkan laundry. Mendidik kemandirian.
Sangat padat kegiatan dari bangun sampai tidur. Tempaan fisik, mental dan pikiran betul-betul terjadi. Biasanya ukuran adaptasinya antara 3-6 bulan. Artinya, di awal-awal ada yang sering mengeluh sakit karena proses adaptasi. Tapi lama kelamaan sudah terbiasa dengan situasi baru tersebut. Bahkan tidak sedikit yang merasa nyaman dan damai dengan situasi pondok walaupun memiliki aktifitas yang bejibun.
Dalam pandangan Kepala SMPIT Assalam, Ustadz Drs Bambang Subekti, kemarin, kondisi antara di pondok dan di luar pondok sama saja. Bertemu orang yang banyak, karakter yang beragam, harus beradaptasi dan memiliki tingkat keluwesan yang tinggi untuk berkomunikasi dengan orang yang beragam tadi. Bedanya, di pondok ada pembimbing yang menilai dan bisa menegur ketika menyimpang dari aturan main yang berlaku.
“Di luar pondok atau di rumah, sama saja. Siswa menghadapi persoalan pergaulan yang beragam. Pertanyaannya, apakah orang tua bisa fokus memperhatikan anak atau tidak. Biasanya orang tua yang bekerja, baru pulang pukul 4 sore. Jadi ada jeda waktu yang tidak bisa mengontrol anak sekitar 3 jam. Digunakan untuk apakah kegiatan selama tidak dikontrol orang tua itu,” tanya Bambang.
Persoalan kontrol orang tua terhadap anak menjadi problem terbesar. Di samping itu bekal ilmu parenting orang tua tidak seragam. Ada yang memahami betul bagaimana cara berkomunikasi dengan anak yang sedang mencari identitas diri, ada juga yang tidak terlalu peduli dengan perkembangan anak. (bersambung)

Sumber : Radar Pekalongan

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon komentar sopan dan membangun. Jika tidak, kami akan menghapusnya

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube