Iwan Gayo “Buku Pintar”: Riset 22 Tahun, Nyaris Mati Sembilan Kali
Laporan: BAYU PUTRA-SUGENG SULAKSONO, Jakarta (JPNN) (Bayu Putra/Jawa Pos)
Berawal
dari doa di depan Kakbah pada 1989, Iwan Gayo akhirnya berhasil
menyelesaikan buku karyanya yang diklaim sebagai salah satu ensiklopedia
Islam terlengkap di Indonesia. Dia pantang menyerah meski sampai
menjual tanah ribuan meter persegi miliknya.
Kesibukan tampak di
salah satu sudut kawasan di Jalan Menjangan, Pondok Ranji, Tangerang
Selatan, Selasa (5/3), menjelang siang. Orkestra pekerja bangunan
mengharmoniskan suara palu yang menghantam paku, derit mesin gerinda,
gergaji kayu, sampai adukan semen di lahan seluas 2.500 meter persegi
itu.
Sebelumnya hanya ada satu rumah sederhana di situ,
dikelilingi kolam ikan tepat di samping sungai kecil yang mengalir.
Itulah rumah Iwan Gayo, penulis “legendaris” Buku Pintar yang tidak lama
lagi memiliki delapan tetangga.
“Sedang dibangun perumahan di
sini. Saya pilih paling pojok. Tetangga saya nanti biar di bagian
depan,” ucap Iwan menyambut kedatangan Jawa Pos sambil menunjuk proyek
pembangunan perumahannya yang sudah setengah jadi itu.
Calon
tetangga Iwan tersebut nanti harus merogoh kocek Rp 800 juta untuk harga
per unit. Harga itu relatif mahal untuk rumah seluas 100 meter persegi
dengan dua lantai.
“Tahun lalu ada pengusaha keturunan Arab datang
ke sini dan menawar lahan saya. Harga dari saya jauh lebih murah
dibanding harga di pasaran. Tetapi, hal itu sangat berarti buat saya
karena dengan uang tersebut akhirnya saya bisa cetak buku ensiklopedia
Islam ini,” ungkap pria kelahiran Takengon, Aceh, 7 November 1951, itu.
Iwan
sekarang menempati rumah dua lantai di areal 200 meter persegi. Meski
bukan lahan penghabisan karena di seberang sungai masih ada 5.000 meter
persegi lahan kosong miliknya, seribu meter di antaranya sudah
diwakafkan untuk pembangunan masjid desa.
Pada masa jayanya,
melalui penjualan masterpiece Buku Pintar yang hingga kini terus
dicetak, Iwan memang meraup materi yang sangat signifikan. “Tetapi, saya
akui, saya tidak pintar mengelola uang. Uang datang, lalu habis.
Kecuali yang jadi tanah ini,” ujarnya.
Penjualan tanah tersebut
sejatinya merupakan opsi pemungkas untuk penerbitan buku ensiklopedia
Islam-nya itu. Dia sempat mengajak kerja sama pihak-pihak tertentu untuk
menerbitkan buku setebal 1.264 halaman tersebut. Tapi, tidak ada yang
merespons.
“Sampai akhirnya, saya ingat Pak Dahlan (Menteri BUMN
Dahlan Iskan, Red). Saya betul-betul mengidolakan beliau. Dami bukunya
lalu saya bawa ke kantor BUMN agar beliau membacanya. Tetapi, beliau
tidak ada. Lalu, saya titip sekuriti. Tetapi, saya yakin titipan itu
tidak sampai ke tangan beliau. Mungkin sekuriti itu lupa,” ungkapnya
lantas tertawa.
Maka, jalan terakhir yang ditempuh adalah menjual
sebagian tanahnya. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku
babon itu sangat besar. Meski demikian, Iwan mengaku bahwa penjualan
tanah tersebut sepadan dengan pengorbanan selama 22 tahun perjuangannya
menyusun buku itu.
Buku berjudul Encyclopedia Islam International
(EII) itu semula dia bayangkan sebagai karya terakhir dalam rangka
perjuangannya di jalan agama (Islam). “Bahasa kasarnya, ini buku jihad,”
katanya setengah bercanda.
EII merupakan salah satu buku yang
penyusunannya memakan waktu sangat lama. “Semua berawal saat saya berdoa
di depan Kakbah pada 1989,” kenang kakek 13 cucu tersebut.
Kala
itu, dia berdoa meminta umur panjang agar bisa menyelesaikan buku pintar
Islam. Minimal seusia Nabi Muhammad (63 tahun), pintanya. Wajar bila
dia memohon itu karena merasa umurnya tidak akan panjang.
Iwan
mempunyai banyak penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Setidaknya, dia
telah sembilan kali naik meja operasi karena sembilan penyakit kronis
yang dideritanya. Tiga di antaranya merupakan bawaan lahir: saluran
ginjal terlalu panjang, usus buntu bermasalah, serta usus terlipat.
“Saya ini lahir pada usia kandungan 11 bulan alias prematur,” ucapnya.
Nyaris
sepanjang usia dirinya tidak luput dari penyakit. Terutama saat kecil.
Dia pun sampai tiga kali ganti nama untuk “menolak kutukan”. “Sampai
akhirnya, saat saya didaftarkan sekolah, ditanya nama lengkap saya. Ayah
saya sempat bingung. Dia lalu ingat nama tepung susu asal Jerman
bermerek Glaxo. Spontan nama saya ditulis Iwan Glaxo. Sedangkan Iwan
Gayo itu nama keren saja. Kebetulan saya besar di Gayo.”
Maka,
ibadah haji yang dilakukan bersama sang istri, Rohani, pada 1989, itu
tidak disia-siakan. Di depan Kakbah, dia bernazar akan membuat buku
pintar Islam sebagai pengabdian kepada agama seandainya diberi tambahan
umur, setidaknya sampai seusia Nabi Muhammad SAW.
Kesungguhannya
dalam berdoa dirasakan makbul. Tiba-tiba, bangunan Kakbah di hadapannya
seolah memiliki semacam undakan setinggi satu meter yang cukup untuk
berpijak. Iwan lalu naik ke undakan tersebut, memeluk dinding Kakbah dan
berdoa.
Belakangan, sepulang dari Tanah Suci, dia mendapati fakta
bahwa Kakbah tidak memiliki undakan untuk kaki berpijak. “Saya yakin
sekali waktu itu ada karena saya bingung saat mau turun,” tuturnya.
Sepulang
dari Tanah Suci, Iwan langsung memulai riset. Berkali-kali dia pergi ke
luar negeri bermodal keuntungan yang didapat dari penjualan buku-buku
karyanya untuk studi banding dan mencari referensi. Setidaknya, dia tiga
kali masing-masing pergi ke Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah.
Keluarganya
merasa heran atas upaya Iwan tersebut, terutama sang kakak. Sebab, kala
itu rumah yang ditinggali Iwan tergolong sederhana. “Saya dianggap
berlagak besar. Rumah butut, malah buang-buang uang ke luar negeri,”
tuturnya.
Di antara sekian banyak negara yang dikunjungi untuk
mencari referensi, ternyata sumber tentang Islam terbesar ada di
negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Bahkan, dia sempat
ikut “kuliah” untuk mendapat banyak sumber yang membahas Islam di
University of Delaware, AS. Iwan belajar di kampus itu selama satu
semester. Semata-mata untuk mengetahui cara universitas tersebut
mengajarkan Islam.
Dia juga berkali-kali mengunjungi perpustakaan
dan membaca habis semua buku yang mengandung unsur Islam. Iwan
mengungkapkan, riset di Delaware merupakan riset terlama dan memaksa
dirinya tinggal di sana selama setahun.
Dari riset itu, dia
menyimpulkan bahwa negara-negara Barat benar-benar berhasil
mendokumentasikan literatur Islam. Ayah 13 anak itu mengungkapkan,
sebagian besar bahan bukunya berasal dari negara-negara Eropa dan AS.
“Lebih dari 90 persen dari Barat, sisanya dari Timur Tengah dan Asia,”
lanjutnya.
Sebagai salah satu bukti, kata Iwan, tempat penyimpanan
peninggalan peradaban Islam terbesar ada di New York, AS. Yakni, di
Metropolitan Museum dengan 8 hall yang penuh benda-benda peradaban Islam
lama.
Setelah buku itu jadi, Iwan pun berani mengklaim karyanya
sebagai ensiklopedia Islam terlengkap karena digali dari banyak sumber
di dunia. Dia juga bangga karena berpotensi mencetak rekor sebagai buku
dengan grafis serta foto terbanyak yang mencapai 6.569.
Begitu
buku tersebut rampung, barulah keluarga mengerti mengapa Iwan begitu
ngotot pergi ke luar negeri berkali-kali. Empat tahun silam, sebenarnya
dia nyaris menerbitkan buku tersebut. Buku itu sudah rampung, namun yang
edisi bahasa Inggris. Baru setelah itu dia berpikir untuk menerbitkan
edisi Indonesia-nya.
Buku tersebut berisi banyak hal tentang
Islam. Mulai tokoh, bangunan, karya, negara, hingga
peninggalan-peninggalan lama. Sebagian di antaranya bahkan berpotensi
mengubah kurikulum sejarah, khususnya di Indonesia. Salah satunya
tentang sosok Raden Ajeng Kartini.
Selama ini, sebagian besar buku
sejarah Indonesia hanya mencatat Kartini sebagai pahlawan emansipasi
perempuan. Menurut Iwan, sangat sedikit orang yang tahu bahwa Kartini
merupakan pelopor lahirnya Alquran terjemahan di Indonesia.
Dia
mencatat, Kartini meminta KH Saleh Darat, mufti Kesultanan Demak kala
itu, untuk menerjemahkan surat Al Fatihah ke dalam bahasa Jawa. Hal itu
dilakukan karena Kartini tertarik pada cara KH Saleh menguraikan makna
surat tersebut saat berceramah.
“Tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya,” ujar Kartini sebagaimana ditirukan Iwan.
Setelah
Alquran diterjemahkan, Kartini memfavoritkan satu kutipan ayat dalam
surat Al Baqarah, yakni pada ayat 257. Sebagian kutipannya berbunyi:
Allah mengeluarkan mereka (orang-orang beriman) dari kegelapan kepada
cahaya. Kalimat itulah yang menjadi inspirasi bagi surat-surat Kartini
yang kemudian terkumpul dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Iwan
menyatakan, dirinya sangat ingin membawa buku masterpiece-nya tersebut
ke luar negeri. Terutama ke negara Barat, tempat dia melakukan riset.
Sebagai langkah awal, dia memulai dengan mengekspor ke negeri jiran,
Malaysia. “Beberapa Islamic Center Malaysia minta dikirimi 120 eksemplar
dulu,” ucapnya.
Penyebaran buku terbarunya itu memang difokuskan
untuk pasar internasional. Tujuannya, menuntaskan perjuangannya
memberikan gambaran Islam secara komprehensif kepada dunia.
“Saya
sekarang sudah pegang visa tiga bulan ke Eropa. Saya akan datangi
sekitar 11 negara ke semua Islamic Center di sana untuk mempresentasikan
buku ini. Visanya akan habis bulan Mei. Jadi, saya harus cepat-cepat
berangkat,” tegasnya.
Rupanya, EII bukan buku terakhir Iwan. Dia
ingin pergi ibadah haji lagi dan meminta tambahan usia di depan Kakbah.
“Saya masih ingin membuat buku biografi Nabi Muhammad dan buku tentang
Alquran,” ungkapnya. (*/c5/ari/jpnn)
Redaktur: Hendratno
Sumber :