Rabu, 13 Maret 2013

Cara Menargetkan Hafalan al-Qur'an

Setiap amal besar pasti membutuhkan langkah dan planning jangka panjang dan matang. Begitulah jika Anda adalah salah seorang yang sedang dan akan menghafalkan al-Qur'an. Ukuran, target dan impian adalah satu paket untuk menjalaninya. Contoh di bawah adalah sebuah rencana dan konsep kasar dengan tujuan agar segala sesuatunya berjalan dengan jelas dan terencana baik. Anda bisa menentukan sendiri menurut kapasitas diri Anda. Karena setiap penghafal berbeda-beda kemampuan, memori dan latar belakang aktifitasnya. Berikutnya rencana target tersebut, selamat mempraktekkan..!

Jumlah waktu keemasan
Jumlah hafalan/jam
Jumlah murojaah/jam
Output
2
1
1
Menghafal 2 juz dalam sebulan  akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 1,5 tahun dengan izin Allah
3
1 ½
1 ½
Menghafal 3 juz setiap sebulan, hafal al-Qur’an 30 juz selama 10 bulan
4
2
2
Menghafal 4 juz setiap sebulan, akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 7,5 bulan
5
2 ½
2 ½
Menghafal 5 juz dalam sebulan, akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 6 bulan dengan izin Allah
6
3
3
Menghafal 6 juz setiap sebulan akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 5 bulan dengan izin Allah
7
3 ½
3 ½
Menghafal 7 juz setiap sebulan akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 4 bulan 10 hari dengan izin Allah
8
4
4
Menghafal 8 juz setiap sebulan akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 3 bulan 3 pekan dengan izin Allah
9
4 ½
4 ½
Menghafal 9 juz dalam sebulan akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 3 bulan 10 hari dengan izin Allah
10
5
5
Menghafal 10 juz setiap sebulan akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 3 bulan tahun dengan izin Allah
15
7
7
Akan hafal al-Qur’an 30 juz selama 2 bulan dengan izin Allah

Sumber :




Azzam, Pondasi Utama Menghafal Qur'an

Matahari menyemburat dari ufuq barat, sinarnya begitu terang, mengiringi perjalanan kami menuju sebuah desa terpencil di kaki Merapi. Tak seperti biasanya yang berselimut mendung, kali ini ia nampak sumringah dengan senyumnya yang memancarkan sejuta rona keindahan.
Hening. Suara Avanza yang kami tumpangi terdengar nyaring. Namun saya tetap asyik, memandang keluar dari balik kaca mobil. Pepohonon hijau yang menyejukkan mata, rumah-rumah yang terendam pasir lahar dingin dan puing-puing sisa erupsi Merapi satu setangah tahun silam. Semuanya menyiratkan makna dan pesan tesendiri bagi saya.

"Mbak Evi," terdengar suara ustadz, saya palingkan wajah saya ke arah mbak Evi.
"Iya, Ustadz" kata mbak Evi menimpali.
"Sudah berapa banyak hafalannya?" Saya dan mbak Evi saling pandang dan tersenyum mendengar pertanyaan sang ustadz.
"Hehe....(bla...bla.....)" jawab mbak Evi.
"Lho memangnya berapa 'azzamnya untuk menghafal?" Ustadz meneruskan pertanyaannya sambil terus mengemudikan Avanza milik Ikadi ini.
"Baru 25% ustadz"
"Lho ndak boleh gitu. Kalau niat menghafal harus benar-benar 100%"
"Lho memangnya harus 100% ya Tadz?" pertanyaan sok lugu saya meluncur juga.
"Ya iya. Kalau niat atau 'azzamnya sudah 100% apapun halangan dan rintangan tidak akan jadi masalah"
"O…" kata saya waktu itu, seolah paham dengan kata-kata Ustadz.
"Kalau 'azzamnya saja belum 100% gimana mau menghafal? Baru dapat godaan sedikit langsung kalah" kata ustadz dengan nada sedikit ketawa.
"Mulai sekarang 'azzamnya dulu diperbaiki, kemudian latihan baca cepat dulu, sebelum mulai mengahafal"
"Kenapa begitu Ustadz?"tanya saya lagi.
"Agar mudah dalam menghafal dan muroja'ah, karena nanti semakin banyak hafalan maka dituntut untuk banyak-banyak muroja'ah"
"O.." kata saya dan mbak Evi, serempak.

Sedikit catatan perjalanan ini mengingatkan saya akan azzam untuk menghafal Qur'an. Waktu itu di asrama kami sedang ada program untuk menghafal Qur'an selama enam bulan dengan target hafalan 4 juz.

Dua minggu penuh kami mendapat motivasi dari salah seorang ustadz pengasuh asrama dan juga dari ustadz-ustadz pengajar yang sudah hafidz. Bahkan sampai mendatangkan salah seorang ustadz pendiri rumah tahfidz lansia di Jogja.

Namun dari semua motivasi yang kami dapat, ada satu hal yang menjadi pondasi utama dalam menghafal Qur’an, yakni “azzam” yang kuat. Pepatah Arab mengatakan “apabila sudah benar azzamnya maka terbukalah jalan menuju kesana”. Itu artinya ketika ‘azzam kita sudah benar dan kokoh maka akan terbuka jalan menuju kesana. Apapun halangan dan rintangan dalam menghafal yang menghadang kita, kita selalu punya cara untuk mengatasinya. Ia tak akan menjadi penghalang kita untuk terus menghafal Qur'an. Misalnya karena skripsi, kerja, atau karena banyaknya aktivitas yang menyita waktu kita. Justru yang saya rasakan ketika saya meninggalkan untuk muroja’ah (mengulang hafalan) saja dengan alasan skripsi (waktu itu), skripsi saya tidak selesai-selesai, hafalan juga banyak yang hilang. Dan dengan menghafal itulah pikiran jadi lancar sehingga mengerjakan skripsipun lancar pula. Sehingga dulu saya sering mengawali skripsi saya dengan muroja’ah.

Satu cerita yang pernah disampaikan ustadz saya, ada seorang ikhwan yang kuliah di UGM. Ia berazzam sebelum menikah ia harus sudah hafal 30 juz (bukan cuman juz 30 lho… hehe). Tanpa bantuan guru, setiap hari 5 menit sebelum shalat lima waktu tiba ia selalu menyempatkan untuk menghafal. Bahkan rapatpun ia tinggalkan karena melihat jam yang menunjukkan waktu sholat telah dekat. Ia pun akhirnya hafal 28 juz ketika menikah. Dua juz sisanya dia selesaikan bersama sang istri.

Selain azzam di atas, perlu adanya upaya untuk memperbaiki dan memperlancar bacaan. Hal ini untuk menghindari kekeliruan dalam menghafal. Latihan membaca cepat juga sangat diperlukan karena ketika hafalan kita sudah banyak maka tuntutan untuk muroja’ah pun juga semakin banyak. Dalam sebuah nasehat yang disampaikan ustadz, setidaknya kita muroja’ah satu perdua puluh dari hafalan kita. Misalkan hafalan kita 20 lembar maka yang akan kita muroja’ah sekitar 1 lembar. Dan ingat, jangan sampai kita menambah hafalan sebelum muroja’ah hafalan kita.

Tentu masih banyak lagi hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam menghafal Qur’an, yang bisa kita peroleh dengan mudahnya di buku, majalah atau artikel. Namun sekali lagi, dari semua hal itu, yang paling utama dan wajib kita perhatikan adalah “seberapa besar azzam kita untuk menghafal Qur'an? Ini yang harus kita tanyakan pada diri kita setiap hari, bahkan setiap saat. Agar kita senantiasa memperbaruinya tatkala salah niat dan segera memotivasi diri tatkala azzam kita lemah. Sehingga hasrat untuk menjadi “Keluarga Allah” segera terwujud. Aamiin… [Ukhtu Emil]

Sumber :

Sabtu, 09 Maret 2013

Iwan Gayo “Buku Pintar”: Riset 22 Tahun, Nyaris Mati Sembilan Kali

Laporan: BAYU PUTRA-SUGENG SULAKSONO, Jakarta (JPNN) (Bayu Putra/Jawa Pos)

Berawal dari doa di depan Kakbah pada 1989, Iwan Gayo akhirnya berhasil menyelesaikan buku karyanya yang diklaim sebagai salah satu ensiklopedia Islam terlengkap di Indonesia. Dia pantang menyerah meski sampai menjual tanah ribuan meter persegi miliknya.

Kesibukan tampak di salah satu sudut kawasan di Jalan Menjangan, Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Selasa (5/3), menjelang siang. Orkestra pekerja bangunan mengharmoniskan suara palu yang menghantam paku, derit mesin gerinda, gergaji kayu, sampai adukan semen di lahan seluas 2.500 meter persegi itu.

Sebelumnya hanya ada satu rumah sederhana di situ, dikelilingi kolam ikan tepat di samping sungai kecil yang mengalir. Itulah rumah Iwan Gayo, penulis “legendaris” Buku Pintar yang tidak lama lagi memiliki delapan tetangga.

“Sedang dibangun perumahan di sini. Saya pilih paling pojok. Tetangga saya nanti biar di bagian depan,” ucap Iwan menyambut kedatangan Jawa Pos sambil menunjuk proyek pembangunan perumahannya yang sudah setengah jadi itu.

Calon tetangga Iwan tersebut nanti harus merogoh kocek Rp 800 juta untuk harga per unit. Harga itu relatif mahal untuk rumah seluas 100 meter persegi dengan dua lantai.
“Tahun lalu ada pengusaha keturunan Arab datang ke sini dan menawar lahan saya. Harga dari saya jauh lebih murah dibanding harga di pasaran. Tetapi, hal itu sangat berarti buat saya karena dengan uang tersebut akhirnya saya bisa cetak buku ensiklopedia Islam ini,” ungkap pria kelahiran Takengon, Aceh, 7 November 1951, itu.

Iwan sekarang menempati rumah dua lantai di areal 200 meter persegi. Meski bukan lahan penghabisan karena di seberang sungai masih ada 5.000 meter persegi lahan kosong miliknya, seribu meter di antaranya sudah diwakafkan untuk pembangunan masjid desa.
Pada masa jayanya, melalui penjualan masterpiece Buku Pintar yang hingga kini terus dicetak, Iwan memang meraup materi yang sangat signifikan. “Tetapi, saya akui, saya tidak pintar mengelola uang. Uang datang, lalu habis. Kecuali yang jadi tanah ini,” ujarnya.

Penjualan tanah tersebut sejatinya merupakan opsi pemungkas untuk penerbitan buku ensiklopedia Islam-nya itu. Dia sempat mengajak kerja sama pihak-pihak tertentu untuk menerbitkan buku setebal 1.264 halaman tersebut. Tapi, tidak ada yang merespons.

“Sampai akhirnya, saya ingat Pak Dahlan (Menteri BUMN Dahlan Iskan, Red). Saya betul-betul mengidolakan beliau. Dami bukunya lalu saya bawa ke kantor BUMN agar beliau membacanya. Tetapi, beliau tidak ada. Lalu, saya titip sekuriti. Tetapi, saya yakin titipan itu tidak sampai ke tangan beliau. Mungkin sekuriti itu lupa,” ungkapnya lantas tertawa.

Maka, jalan terakhir yang ditempuh adalah menjual sebagian tanahnya. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk menerbitkan buku babon itu sangat besar. Meski demikian, Iwan mengaku bahwa penjualan tanah tersebut sepadan dengan pengorbanan selama 22 tahun perjuangannya menyusun buku itu.

Iwan Gayo dan buku kebanggaannya yang siap diekspor. (Bayu Putra/JAWA POS)
Buku berjudul Encyclopedia Islam International (EII) itu semula dia bayangkan sebagai karya terakhir dalam rangka perjuangannya di jalan agama (Islam). “Bahasa kasarnya, ini buku jihad,” katanya setengah bercanda.

EII merupakan salah satu buku yang penyusunannya memakan waktu sangat lama. “Semua berawal saat saya berdoa di depan Kakbah pada 1989,” kenang kakek 13 cucu tersebut.
Kala itu, dia berdoa meminta umur panjang agar bisa menyelesaikan buku pintar Islam. Minimal seusia Nabi Muhammad (63 tahun), pintanya. Wajar bila dia memohon itu karena merasa umurnya tidak akan panjang.

Iwan mempunyai banyak penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Setidaknya, dia telah sembilan kali naik meja operasi karena sembilan penyakit kronis yang dideritanya. Tiga di antaranya merupakan bawaan lahir: saluran ginjal terlalu panjang, usus buntu bermasalah, serta usus terlipat. “Saya ini lahir pada usia kandungan 11 bulan alias prematur,” ucapnya.

Nyaris sepanjang usia dirinya tidak luput dari penyakit. Terutama saat kecil. Dia pun sampai tiga kali ganti nama untuk “menolak kutukan”. “Sampai akhirnya, saat saya didaftarkan sekolah, ditanya nama lengkap saya. Ayah saya sempat bingung. Dia lalu ingat nama tepung susu asal Jerman bermerek Glaxo. Spontan nama saya ditulis Iwan Glaxo. Sedangkan Iwan Gayo itu nama keren saja. Kebetulan saya besar di Gayo.”

Maka, ibadah haji yang dilakukan bersama sang istri, Rohani, pada 1989, itu tidak disia-siakan. Di depan Kakbah, dia bernazar akan membuat buku pintar Islam sebagai pengabdian kepada agama seandainya diberi tambahan umur, setidaknya sampai seusia Nabi Muhammad SAW.

Kesungguhannya dalam berdoa dirasakan makbul. Tiba-tiba, bangunan Kakbah di hadapannya seolah memiliki semacam undakan setinggi satu meter yang cukup untuk berpijak. Iwan lalu naik ke undakan tersebut, memeluk dinding Kakbah dan berdoa.
Belakangan, sepulang dari Tanah Suci, dia mendapati fakta bahwa Kakbah tidak memiliki undakan untuk kaki berpijak. “Saya yakin sekali waktu itu ada karena saya bingung saat mau turun,” tuturnya.

Sepulang dari Tanah Suci, Iwan langsung memulai riset. Berkali-kali dia pergi ke luar negeri bermodal keuntungan yang didapat dari penjualan buku-buku karyanya untuk studi banding dan mencari referensi. Setidaknya, dia tiga kali masing-masing pergi ke Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah.

Keluarganya merasa heran atas upaya Iwan tersebut, terutama sang kakak. Sebab, kala itu rumah yang ditinggali Iwan tergolong sederhana. “Saya dianggap berlagak besar. Rumah butut, malah buang-buang uang ke luar negeri,” tuturnya.

Di antara sekian banyak negara yang dikunjungi untuk mencari referensi, ternyata sumber tentang Islam terbesar ada di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Bahkan, dia sempat ikut “kuliah” untuk mendapat banyak sumber yang membahas Islam di University of Delaware, AS. Iwan belajar di kampus itu selama satu semester. Semata-mata untuk mengetahui cara universitas tersebut mengajarkan Islam.

Dia juga berkali-kali mengunjungi perpustakaan dan membaca habis semua buku yang mengandung unsur Islam. Iwan mengungkapkan, riset di Delaware merupakan riset terlama dan memaksa dirinya tinggal di sana selama setahun.
Dari riset itu, dia menyimpulkan bahwa negara-negara Barat benar-benar berhasil mendokumentasikan literatur Islam. Ayah 13 anak itu mengungkapkan, sebagian besar bahan bukunya berasal dari negara-negara Eropa dan AS. “Lebih dari 90 persen dari Barat, sisanya dari Timur Tengah dan Asia,” lanjutnya.

Sebagai salah satu bukti, kata Iwan, tempat penyimpanan peninggalan peradaban Islam terbesar ada di New York, AS. Yakni, di Metropolitan Museum dengan 8 hall yang penuh benda-benda peradaban Islam lama.

Setelah buku itu jadi, Iwan pun berani mengklaim karyanya sebagai ensiklopedia Islam terlengkap karena digali dari banyak sumber di dunia. Dia juga bangga karena berpotensi mencetak rekor sebagai buku dengan grafis serta foto terbanyak yang mencapai 6.569.
Begitu buku tersebut rampung, barulah keluarga mengerti mengapa Iwan begitu ngotot pergi ke luar negeri berkali-kali. Empat tahun silam, sebenarnya dia nyaris menerbitkan buku tersebut. Buku itu sudah rampung, namun yang edisi bahasa Inggris. Baru setelah itu dia berpikir untuk menerbitkan edisi Indonesia-nya.

Buku tersebut berisi banyak hal tentang Islam. Mulai tokoh, bangunan, karya, negara, hingga peninggalan-peninggalan lama. Sebagian di antaranya bahkan berpotensi mengubah kurikulum sejarah, khususnya di Indonesia. Salah satunya tentang sosok Raden Ajeng Kartini.
Selama ini, sebagian besar buku sejarah Indonesia hanya mencatat Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Menurut Iwan, sangat sedikit orang yang tahu bahwa Kartini merupakan pelopor lahirnya Alquran terjemahan di Indonesia.

Dia mencatat, Kartini meminta KH Saleh Darat, mufti Kesultanan Demak kala itu, untuk menerjemahkan surat Al Fatihah ke dalam bahasa Jawa. Hal itu dilakukan karena Kartini tertarik pada cara KH Saleh menguraikan makna surat tersebut saat berceramah.
“Tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya,” ujar Kartini sebagaimana ditirukan Iwan.

Setelah Alquran diterjemahkan, Kartini memfavoritkan satu kutipan ayat dalam surat Al Baqarah, yakni pada ayat 257. Sebagian kutipannya berbunyi: Allah mengeluarkan mereka (orang-orang beriman) dari kegelapan kepada cahaya. Kalimat itulah yang menjadi inspirasi bagi surat-surat Kartini yang kemudian terkumpul dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Iwan menyatakan, dirinya sangat ingin membawa buku masterpiece-nya tersebut ke luar negeri. Terutama ke negara Barat, tempat dia melakukan riset. Sebagai langkah awal, dia memulai dengan mengekspor ke negeri jiran, Malaysia. “Beberapa Islamic Center Malaysia minta dikirimi 120 eksemplar dulu,” ucapnya.

Penyebaran buku terbarunya itu memang difokuskan untuk pasar internasional. Tujuannya, menuntaskan perjuangannya memberikan gambaran Islam secara komprehensif kepada dunia.

“Saya sekarang sudah pegang visa tiga bulan ke Eropa. Saya akan datangi sekitar 11 negara ke semua Islamic Center di sana untuk mempresentasikan buku ini. Visanya akan habis bulan Mei. Jadi, saya harus cepat-cepat berangkat,” tegasnya.
Rupanya, EII bukan buku terakhir Iwan. Dia ingin pergi ibadah haji lagi dan meminta tambahan usia di depan Kakbah. “Saya masih ingin membuat buku biografi Nabi Muhammad dan buku tentang Alquran,” ungkapnya. (*/c5/ari/jpnn)
Redaktur: Hendratno
Sumber :
Mencari Pahlawan Indonesia
Oleh Anis Matta

Seri 76 (Terakhir): Mencari Pahlawan Indonesia

Orang-orang bertanya mengapa saya menulis serial kepahlawanan ini? Biasanya, saya akan terdiam. Sebab, memang tidak ada alasan yang terlalu jelas. Yang saya rasakan hanyalah dorongan naluri: bahwa negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit, sementara perempuan-perempuannya sedang tidak subur; mereka makin pelit melahirkan pahlawan.
Saya tidak pernah merisaukanbenar krisis yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini. Krisis adalah takdir semua bangsa. Apa yang memiriskan hati adalah kenyataan bahwa ketika krisis besar itu terjadi, kita justru mengalami kelangkaan pahlawan. Fakta ini jauh lebih berbahaya, sebab disini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa.
Bangsa Amerika pernah mengalami depresi ekonomi terbesar dalam sejarah dan tahun 1929 hingga 1937. Selang lima tahun setelah itu, lepatnya tahun 1942, mereka memasuki Perang Dunia Kedua; dan mereka menang. Selama masa itu, mereka dipimpin oleh seorang pemimpin yang lumpuh, dan satu-satunya presiden yang pernah terpilih sebanyak empat kali, FD. Rosevelt. Tapi krisis itu telah membesarkan Bangsa Amerika; selama masa depresi mereka menemukan teori-teori makroekonomi yang sekarang kita pelajari di bangku kuliah dan menjadi pegangan perekonomian jagat raya. Mereka juga memenangkan PD II dan berkuasa penuh di muka bumi hingga saat ini

Itulah yang terjadi ketika kritis dikelola oleh tangan-tangan dingin para pahlawan; mereka mengubah tantangan menjadi peluang, kelemahan menjadi kekuatan, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, dan krisis menjadi berkah.

Lorong kecil yang menyalurkan udara pada ruang kehidupan sebuah bangsa yang tertutup oleh krisis adalah harapan. Inilah inti kehidupan ketika tak ada lagi kehidupan. Inilah benteng pertahanan terakhir bangsa itu. Tapi benteng itu dibangun dan diciptakan para pahlawan. Mungkin mereka tidak membawa janji pasfi tentang jalan keluar yang instan dan menyelesaikan masalah. Tapi mereka membangun inti kehidupan; mereka membangunkan daya hidup dan kekuatan yang ter tidurdi sana, di atas alas ketakutan dan ketidakberdayaan. Itulah yang dilakukan Rosevell. Bangsa yang sedang mengalami krisis, kata Rosevelt, hanya membutuhkan satu hal; motivasi. Sebab, bangsa itu sendiri, pada dasamya, mengetahui jalan keluar yang mereka cari.

Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin dibangun di negeri ini. Untaian Zamrud Katulistiwa ini masih mungkin dirajut menjadi kalung sejarah yang indah. Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa kita saat ini. Tidak peduli seberapa banyak kekuatan asing yang menginginkan kehancuran bangsa ini.

Masih mungkin. Dengan satu kata: para pahlawan. Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir ke sini. Sekali lagi, jangan pernah menunggu kedatangannya, seperti orang-orang lugu yang tertindas itu; mereka menunggu datangnya Rata Adil yang tidak pemah datang.

Mereka tidak akan penah datang. Mereka bahkan sudah ada di sini. Mereka lahir dan besar di negeri ini. Mereka adalah aku, kau, dan kita semua. Mereka bukan orang lain.

Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka; dan dunia akan menyaksikan gugusan pulau-pulau ini menjelma menjadi untaian kalung zamrud kembali yang menghiasi leher sejarah.




Sumber :

Ringkasan Bukunya Anis Matta : 


DELAPAN MATA AIR KECEMERLANGAN
Penulis : Anis Matta, Lc


Membaca buku ini akan mengantarkan kita kepada pengenalan akan cara menguatkan kualitas diri. Diawali dari kesadaran akan peran, Delapan Mata Air Kecemerlangan akan menegaskan bahwa tujuan hidup itu sudah given.
Yang harus kita lakukan adalah memilih peran. Tetapi memaksimalkan peran harus kita lakukan dengan memahami satuan waktu sebagai bekal untuk menghasilkan satuan amal. Selebihnya adalah bagaimana kita bermanfaat bagi sesama.



Berikut Ringkasan Buku Delapan Mata Air Kecemerlangan 
 
Mata Air Pertama: Konsep Diri

Konsep diri adalah suatu kesadaran pribadi yang utuh, kuat, jelas, dan mendalam tentang visi dan misi hidup; pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilai yang membentuknya; peta potensi; kapasitas dan kompetensi diri; peran yang menjadi wilayah aktualisasi dan kontribusi; serta rencana amal dan karya unggulan. Konsep Diri menciptakan perasaan terarah dalam struktur kesadaran pribadi kita. Keterarahan adalah salah satu mata air kecemerlangan.

Konsep Diri manusia Muslim adalah kesadaran yang mempertemukan antara kehendak-kehendaknya sebagai manusia; antara model manusia Muslim yang ideal dan universal dengan kapasitas dirinya yang nyata dan unik, antara nilai-nilai Islam yang komprehensif dan integral dengan keunikan-keunikan pribadinya sebagai individu; antara ruang aksi dan kreasi yang disediakan Islam dengan kemampuan pribadinya untuk beraksi dan berkreasi; dan antara idealisme Islam dengan realitas pribadinya.


Mata Air Kedua: Cahaya Pikiran

Perubahan, perbaikan, dan pengembangan kepribadian harus selalu dimulai dari pikiran kita. Sebab, tindakan, perilaku, sikap, dan kebiasaan kita sesungguhnya ditentukan oleh pikiran-pikiran yang memenuhi benak kita. Bukan hanya itu, semua emosi atau perasaan yang kita rasakan dalam jiwa kita seperti kegembiraan dan kesedihan, kemarahan dan ketenangan, juga ditentukan oleh pikiran-pikiran kita. Kita adalah apa yang kita pikirkan.

Maka, kekuatan kepribadian kita akan terbangun saat kita mulai memikirkan pikiran-pikiran kita sendiri, memikirkan cara kita berpikir, memikirkan kemampuan berpikir kita, dan memikirkan bagaimana seharusnya kita berpikir. Benih dari setiap karya-karya besar yang kita saksikan dalam sejarah, selalu terlahir pertama kali di sana: di alam pikiran kita. Itulah ruang pertama dari semua kenyataan hidup yang telah kita saksikan.
Mata Air Ketiga : Kekuatan Tekad

Tekad adalah jembatan di mana pikiran-pikiran masuk dalam wilayah fisik dan menjelma menjadi tindakan. Tekad adalah energi jiwa yang memberikan kekuatan kepada pikiran untuk merubahnya menjadi tindakan.

Pikiran tidak akan pernah berujung dengan tindakan, jika ia tidak turun dalam wilayah hati, dan berubah menjadi keyakinan dan kemauan, serta kemudian membulat menjadi tekad. Begitu ia menjelma jadi tekad, maka ia memperoleh energi yang akan merangsang dan menggerakkan tubuh untuk melakukan perintah-perintah pikiran.

Bila tekad itu kuat dan membaja, maka tubuh tidak dapat, atau tidak sanggup menolak perintah-perintah pikiran tersebut. Akan tetapi, bila tekad itu tidak terlalu kuat, maka daya rangsang dan geraknya terhadap tubuh tidak akan terlalu kuat, sehingga perintah-perintah pikiran itu tidak terlalu berwibawa bagi tubuh kita.

Maka, kekuatan dan kelemahan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh sebesar apa tekadnya, yang merupakan energi jiwa dalam dirinya. Tekad yang membaja akan meloloskan setiap pikiran di sleuruh prosedur kejiwaan, dan segera merubahnya menjadi tindakan.


Mata Air Keempat: Keluhuran Sifat

Pada akhirnya semua kekuatan internal –kosep diri, pikiran dan tekad- yang telah kita bangun dalam diri kita, haruslah bermuara pada munculnya sifat-sifat keluhuran. Kecemerlangan seseorang di dalam hidup sesungguhnya berasal –salah satunya- dari mata air keluhuran budi pekertinya. Dari mata air keluhuran itu, semua nilai-nilai kemanusiaan yang mulia terjalin menjadi satu kesatuan, dan menampakkan diri dalam bentuk sifat-sifat terpuji.

Sifat-sifat itulah yang akan tampak di permukaan kepribadian kita, mewakili keseluruhan pesona kekuatan kepribadian yang kita miliki, yang sebagiannya terpendam di kedalaman dasar kepribadian kita. Kekuatan pesona sifat-sifat keluhuran itu seperti sihir, yang akan menaklukkan akal dan hati orang-orang yang ada di sekitarnya, atau yang bersentuhan dengannya secara langsung.

Setiap sifat memiliki akar tersendiri yang terhunjam dalam di kedalaman pikiran dan emosi kita. Seperti juga pohon, sifat-sifat itu tersusun sedemikian rupa di mana sebagian mereka melahirkan sebagian yang lain. Ada sejumlah sifat-sifat tertentu yang berfungsi seperti akar pada pohon, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi batang, dahan dan ranting, daun dan buah. Demikianlah kita tahu bahwa semua sifat keluhuran berakar pada lima sifat: cinta kebenaran, kesabaran, kasih sayang, kedermawanan, dan keberanian.

Mata Air Kelima: Manajemen Aset Fundamental

Obsesi-obsesi besar, pikiran-pikiran besar, dan kemauan-kemauan besar selalu membutuhkan daya dukung yang juga sarana besarnya. Salah satunya dalam bentuk pengelolaan dua aset fundamental secara baik, yaitu kesehatan dan waktu.

Fisik adalah kendaraan jiwa dan pikiran. Perintah-perintah pikiran dan kehendak-kehendak jiwa tidak akan terlaksana dengan baik, bila fisik tidak berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Kadang-kadang, jumlah “penumpang” yang mengendarai fisik kita melebihi kapasitasnya dan membuatnya jadi oleng. Akan tetapi, perawatan yang baik akan menciptakan keseimbangan yang rasional antara muatan dan kapasitas kendaraan.

Waktu adalah kehidupan. Setiap manusia diberikan kehidupan sebagai batas masa kerja dalam jumlah yang berbeda-beda, yang kemudian kita sebut dengan umur yang terbentang dari kelahiran hingga kematian. Tidak ada manusia yang mengetahui akhir dari batas masa kerja itu, yang kemudian kita sebut ajal. Hal itu menciptakan suasana ketidakpastian, tetapi itulah aset paling berharga yang kita miliki.

Ibarat menempuh sebuah perjalanan yang panjang, fisik kita berfungsi sebagai kereta, dan waktu yang terbentang jauh atau dekat, seperti rel kereta. Seorang masinis boleh menentukan stasiun terakhir yang kita tuju, tetapi dia harus menjamin bahwa kereta yang dikemudikannya dan rel yang akan dilewatinya benar-benar berada dalam keadaan baik.

Kesehatan dan waktu adalah dua perangkat keras kehidupan yang sangat terbatas. Akan tetapi, manusia-manusia cemerlang selalu dapat meraih sesuatu secara maksimal dari semua keterbatasan yang melingkupinya.

Mata Air Keenam: Integrasi Sosial

Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat di mana kita berada bukan saja merupakan ukuran kematangan pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu. Sebab, lingkungan sosial kita harus dipandang sebagai wadah kita untuk menyemai semua kebaikan yang telah kita kembangkan dalam diri.

Dengan cara pandang ini, maka setiap diri kita akan membangun hubungan sosialnya dengan semangat partisipasi: menyebarkan bunga-bunga kebaikan di taman kehidupan masyarakat kita.

Dengan semangat ini, maka semua usaha kita untuk menciptakan keharmonisan sosial menjadi niscaya. Bukan saja karena dengannya kita dapat menyebarkan kebaikan yang tersimpan dalam diri kita, tetapi juga karena kita menciptakan landasan yang kokoh untuk meraih kesuksesan, berkah kehidupan, dan kebahagiaan dalam hidup.

Jika kematangan pribadi merupakan landasan bagi kesuksesan sosial, maka kesuksesan sosial merupakan landasan bagi kesuksesan lain dalam hidup, seperti kesuksesan profesi.

Mata Air Ketujuh: Kontribusi

Kehadiran sosial kita tidak boleh berhenti pada tahap partisipasi. Harus ada langkah yang lebih jauh dari sekadar itu. Harus ada karya besar yang kita kontribusikan kepada masyarakat, yang berguna bagi kehidupan mereka; sesuatu yang akan dicatat sebagai jejak sejarah kita, dan sebagai amal unggulan yang membuat kita cukup layak mendapatkan ridha Allah SAW dan sebuah tempat terhormat dalam surga-Nya.

Kontribusi itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau wilayah lainnya. Namun, kontribusi apa pun yang hendak kita berikan, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita dan dibangun dari kompetensi inti kita. Masyarakat adalah pengguna karya-karya kita, maka yang terbaik yang kita berikan kepada mereka adalah apa yang paling mereka butuhkan, dan apa yang tidak dapat dipenuhi oleh orang lain. Akan tetapi, kita tidak dapat berkarya secara maksimal di luar dari kompetensi inti kita. Karena itu, kita harus mencari titik temu diantara keudanya.

Caranya adalah sebagai berikut: buatlah peta kebutuhan kondisional masyarakat kita, dan kemudian buatlah peta potensi kita, untuk menemukan kompetensi inti diri kita. Apabila titik temu itu telah kita temukan, maka masih ada satu lagi yang harus kita lakukan; menjemput momentum sejarah untuk meledakkan potensi kita menjadi karya-karya besar yang monumental. Ini semua mengharuskan kita memiliki kesadaran yang mendalam akan tugas sejarah kita sebagai pribadi, sekaligus firasat yang tajam tentang momentum-momentum sejarah kita.

Mata Air Kedelapan: Konsistensi

Sebagai manusia beriman, kita meyakini sebuah prinsip, bahwa bagian yang paling menentukan dari seseorang adalah akhir hidupnya. Maka, persoalan paling berat yang kita hadapi sesungguhnya bukanlah mendaki gunung, tetapi bagaimana bertahan di puncak gunung itu hingga akhir hayat.

Mengukir sebuah prestasi besar dalam hidup dan mempertahankannya hingga akhir hayat, adalah dua misi dan tugas hidup yang berbeda; berbeda pada kapasitas energi jiwa yang diperlukannya, berbeda pada proses-proses psikologisnya, berbeda pula pada ukuran kesuksesannya.

Untuk dapat bertahan di puncak, kita harus menghindari jebakan-jebakan kesuksesan, seperti rasa puas yang berlebihan atau perasaan menjadi besar dengan kesuksesab yang telah kita raih. kita harus mempertahankan obsesi pada kesempurnaan pribadi, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan pertumbuhan tanpa batas akhir, dan mempertahankan semangat kerja dengan menghadirkan kerinduan abadi kepada surga dan kecemasan abadi dari neraka, serta menyempurnakan semua usaha-usaha manusiawi kita dengan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan husnul khatimah. Semua itu agar kita menjemput takdir sejarah kita yang terhormat di bawah naungan ridha Allah SWT, dan agar kita kelak menceritakan episode panjang kepahlawanan ini kepada saudara-saudara kita di surga.


Sumber : 
http://majalahtarbawi.blogspot.com
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube